Oleh KH Amidhan
Ketua Majelis Ulama Indonesia
Bangsa
kita saat ini dihadapkan pada mentalitas yang labil. Dengan mudah
masyarakat terpengaruh sesuatu yang tidak jelas asal muasalnya. Orang
giat berpacu dalam urusan duniawi dan seperti lupa soal ukhrawi. Karena
itu, orang mengejar materi dengan segala cara sehingga korupsi, suap,
kriminalitas, dan sejenisnya merebak.
Dalam surat Al Baqarah ayat 18, manusia diingatkan untuk mendapatkan
materi melalui cara-cara halal. "Hai orang-orang yang beriman, makanlah
kamu dari apa-apa yang ada di bumi dan baik (halal). Janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan karena sesungguhnya syaitan musuhmu
yang nyata."
Halal itu dilakukan secara menyeluruh atau total halal. Ayat itu secara
langsung menegaskan tentang makanan, minuman, dan barang-barang yang
digunakan harus berasal dari yang halal atau diperoleh secara halal.
Ayat lain dalam Al-Qur'an menyatakan sesuatu yang tidak boleh. Hal yang
haram itu adalah bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih
tidak atas nama Allah. Tetapi, halal itu harus dilihat dari segala
aspek. Seperti dalam bekerja, upah dan sebagainya harus bersih dan
halal.
Bersih dan halal terkait dengan tujuh hal: tidak berbau judi, tidak
riba, tidak eksploitatif, tidak igra (mengandung iming-iming), tidak
spekulatif, tidak riswah atau tidak maksiat, dan tidak aniaya. Ketujuh
hal itu adalah halal secara nyata.
Tetapi, dalam mencari rezeki, orang sering tidak mementingkan soal
kehalalan. Upaya untuk itu dilakukan dengan cara-cara untuk menguasai.
Maka KKN menjadi pola dan pilihan. Itu bisa dilihat di masyarakat:
kolusi dan korupsi begitu marak. Nepotisme juga menjadi bagian perilaku
elite.
Nepotisme adalah awal kolusi dan kolusi awal korupsi. Itu tidak bisa
dilakukan kalau manusia tidak total bersih. Manusia diingatkan melalui
banyak sekali ayat Al-Qur'an agar tidak menjalani kehidupan dengan
cara-cara yang tidak halal. Banyak ayat memerintahkan manusia supaya
tidak mengikuti langkah syaitan.
Oleh karena itu, harus dilakukan sikap halal secara total. Langkah itu
seperti sekarang MUI menggelar pameran halal dunia sekaligus
mengembangkan wisata syariah. Ini harus didukung. Wisata syariah tidak
hanya soal makanan dan minuman, tetapi juga penginapan atau hotel dan
infrastruktur.
Sementara fenomena yang berkembang, mentalitas bangsa dan elite tidak
total bersih. Elite bangsa mudah tergoda. Bahkan meski sudah kaya
sekalipun, mereka tetap saja gampang tergoda berbuat tidak bersih--hanya
karena kepentingan sesaat.
Sikap mental itu memengaruhi tingkat keimanan seseorang yang bisa
berkurang atau menurun dan bisa pula meningkat. Agar selalu mantap, maka
harus didukung oleh pendidikan yang memadai, yang bisa dimulai di rumah
(tadriyah mansyiah), dan ibu adalah guru utama yang memberikan
pendidikan sejak seseorang dilahirkan hingga akhir hayatnya. Kemudian,
pendidikan di sekolah dan pendidikan bagi orang dewasa serta tadrisyiah
iftimaiyah, yaitu pendidikan di masyarakat.
Semuanya, pendidikan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat saling
berhubungan. Pendidikan di rumah dan di sekolah akan menempa mentalitas
seseorang di masyarakat. ***
0 komentar:
Posting Komentar