Bandung (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar bisa dilibatkan dalam proses uji materiil peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ajaran Islam guna menghindari kontroversi di masyarakat seperti yang terjadi pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Perkawinan.

Ketua MUI Provinsi Jawa Barat Rachmat Syafe`i ketika berbicara dalam seminar nasional "Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)" di Universitas Padjajaran, Bandung, Selasa, mengatakan dampak yang ditimbulkan oleh keputusan MK dalam uji materiil UU Perkawinan yang mengakui hubungan perdata anak luar kawin dengan ayahnya dan keluarga ayahnya melalui pembuktian hubungan darah sangat besar dan luar biasa bagi Umat Islam.

"Karena itu kami meminta kepada MK agar apabila terdapat permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan ajaran Islam pada masa datang, hendaknya MUI diberi tahu dan diundang untuk hadir dalam sidang pengujian undang-undang guna menyampaikan sikap dan pendapatnya," tutur Rachmat.

Ia juga meminta sembilan hakim konstitusi untuk berhati-hati dalam memutuskan perkara uji materiil suatu undang-undang yang sensitif dan berpotensi membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat.

"MUI mengharapkan kiranya dalam merumuskan putusan, MK mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia yang religius dengan ajaran agama yang dipeluk dan diyakininya," ujarnya.

Bahkan, Rachmat mengatakan, MUI juga merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah agar merevisi UU No 24 Tahun 2003 tentang MK agar tercantum ketentuan larangan bagi MK untuk mengeluarkan keputusan yang isinya bertentangan dengan ajaran agama-agama di Indonesia.

Menurut Rachmat, MUI tidak berkeberatan dan sepakat bahwa hak anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan tapi belum dicatatkan pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan sipil seperti perkawinan siri harus disamakan dengan hak anak dalam ikatan perkawinan yang telah tercatat.

Namun, keputusan MK dalam uji materiil pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayahnya" tanpa menyebutkan apakah anak tersebut berasal dari perkawinan yang belum tercatat atau dari hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan.

Sedangkan fatwa MUI tentang anak hasil zina, kata Rachmat, anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.

"Putusan MK tersebut menuai kontroversi serta menimbulkan kegoncangan di kalangan Umat Islam karena berkembang pendapat bahwa keputusan tersebut telah melanggar ajaran Islam," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, keputusan MK tersebut dikhawatirkan akan membuka peluang lebih besar bagi berkembangnya pemikiran dan perilaku sebagian orang untuk melakukan hubungan seksual di luar perkawinan tanpa perlu cemas dengan masa depan dan status hukum anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut.

"Akibat nyata dari putusan MK ini, kini kedudukan anak hasil zina sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah maupun hak waris. Ini sangat menurunkan derajat kesucian lembaga perkawinan bahkan pada tingkat ekstrem bisa memunculkan pendapat lembaga perkawinan tidak dibutuhkan lagi," demikian Rachmat.
(T.D013/E001)