FATWA MEROKOK MUI :
Pertama, hukum asal merokok adalah khilaf (terjadi perbedaan pendapat) antara makruh dan haram.
Kedua, merokok di muka umum (wilayah publik) hukumnya haram,
Ketiga, merokok bagi wanita hamil hukumnya haram.
Ke empat, merokok bagi anak-anak hukumnya haram.
Kelima, merokok bagi pengurus MUI hukumnya haram.
Oleh: Akbarizan*
Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia di Padang Panjang
Sumatera Barat tanggal 24-26 Januari 2009 telah dibahas masalah hukum merokok.
Dalam Ijtima’ Ulama ini muncul perbedaan pendapat ulama tentang aktivitas
merokok ini. Dalam konteks ini, banyak muncul perbedaan pendapat ulama yang
mewakili masing MUI di Indonesia. Sebagaian menyatakan bahwa hukum merokok
adalah haram secara mutlak, sebagian lain menyatakan makruh secara mutlak, dan
sebagian lain adalah mubah secara mutlak..
Dari sidang-sidang yang berlansung, dapat dikatakan bahwa ulama yang
berkumpul berusaha membahas secara serius untuk membahas mengenai merokok
ini. Tidak ada kepentingan-kepentingan yang membonceng pembahasan ini.
Pembahasan dilakukan dari dari berbagai sisi dan perspektif yang berbeda-beda.
Ulama memilik idoim bahawa ”bukan ulama yang menentukan atau menetapkan hukum
tetapi Allah lah yang menetapkan hukum, ulama hanyalah menggali dan menjelaskan
hukum yang mungkin”.
Di dalam tulisan ini, akan disampaikan bagaimana argumentasi (istidlal)
tentang hukum merokok tersebut baik yang mengharamkan, memakruhkan atau
yang memubahkan. Dalail syar’yyah yang dikemukakan oleh mereka yang
berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh atau mubah, bukan haram dengan
istidlal berikut; pertama, Allah swt. dan Rasul-Nya saw. tidak pernah menegaskan
bahwa tembakau atau rokok itu haram. Kedua, hukum asal setiap sesuatu adalah
halal kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan. Ketiga, sesuatu yang
haram bukanlah yang memudlaratkan, dan sesuatu yang halal bukanlah yang
memiliki banyak manfaat, akan tetapi yang haram adalah yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya walau bermanfaat, dan yang halal adalah yang dihalalkan oleh
Allah dan Rasul-Nya walau memudlaratkan.
Keempat, tidak setiap yang memudlaratkan itu haram, yang haram adalah yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya baik itu memudlaratkan atau tidak.
Cabe, daging kambing, gula, asap
mobil, dll. juga memudlaratkan tapi tidak haram, mengapa justru rokok saja yang
haram padahal masih banyak yang lain yang juga memudlaratkan? Segala jenis ikan
di dalam laut hukum memakannya halal sebagaimana yang diterangkan dalam
hadits. Padahal banyak jenis ikan yang memudlaratkan di dalam laut tersebut, tetapi
tetap halal walau memudlaratkan. Kalau kita mengharamkannya maka kita telah
mentaqyid hadits yang berbunyi "Yang suci airnya dan yang halal bangkainya". Kelima,
Kalau rokok dikatakan bagian dari khaba'its maka bawang juga termasuk khaba'its,
mengapa rokok saja yang diharamkan sementara bawang hanya sekedar makruh
(itupun kalau akan memasuki masjid)?
Keenam, hadits “La dlarara wala dlirar” masih
umum, dan bahaya-bahaya rokok tidak mutlak dan tidak pasti, kemudian ia
bergantung pada daya tahan dan kekuatan tubuh masing-masing. Ketujuh, boros
adalah menggunakan sesuatu tanpa membutuhkannya, dari itu jika seseorang
merokok dalam keadaan membutuhkannya maka ia tidaklah pemboros karena rokok
ternyata kebutuhan sehari-harinya juga. Kedelapan, realita menunjukkan bahwa
rokok ternyata memberi banyak manfaat terutama dalam menghasilkan uang, di
pulau Lombok misalnya, hanya tembakaulah yang membuat para penduduknya
dapat makan, jika rokok diharamkan maka mayoritas penduduk Lombok tidak
tahan hidup.
Allah berfirman: "Katakanlah hai Muhammad: Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
sebagiannya halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini
atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" Kesembila, Qiyas kepada khamr tidak
benar karena rokok tidak memabukkan dan tidak menghilangkan akal, justru
seringnya melancarkan daya berfikir. Yang paling penting adalah haramnya khamr
karena ada nash, dan tidak haramnya rokok karena tidak ada nash. Kemudian qiyas
tidak boleh digunakan dengan sembarangan. Kesepuluh, rokok tidak ada
hubungannya sama sekali dengan ayat "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan" karena ayat tersebut membicarakan hal lain.
Adapun ayat
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu" maksudnya adalah bunuh diri, maka adakah
orang yang sengaja membunuh dirinya dengan menghisap rokok? kalaupun ada jenis
rokok yang sengaja dibuat untuk bunuh diri maka tetap yang haram bukan rokoknya
akan tetapi yang haram adalah bunuh dirinya.
Sebagaimana seseorang membunuh dirinya dengan pisau, maka yang haram bukan menggunakan pisaunya tetapi bunuh
dirinya. Kesebelas, banyak ulama' yang tidak mengharamkan rokok seperti : Syekh
Syehristani, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh al-Sistani, Syekh Muhammad al-Salami,
Syekh al-Dajawi, Syekh Alawi al-Saqqaf, Syekh Muhammad bin Isma'il, Syekh al-
Ziadi, Syekh Mur'i al-Hanbali, Syekh Abbas al-Maliki, Syekh Izzuddin al-Qasysyar,
Syekh Umar al-Mahresi, Syekh Muhammad Alawi al-Maliki, Syekh Hasan al-
Syennawi, Syekh Ahmad bin Abdul-Aziz al-Maghribi, Syekh Abdul-Ghani al-
Nabulsi ra., Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra., Maulana Syekh
Mukhtar ra., dll.
Pendapat yang menyatakan bahwa merokok hukumnya haram
berargumentasi sebagai berikut: pertama, merokok haram hukumnya berdasarkan
makna yang terindikasi dari zhahir ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 195 yang
artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Wajhud
dilalah (aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok termasuk
perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
Dunia kedokteran telah
membuktikan bahwa mengkonsumsi barang ini dapat membahayakan, jika
membahayakan maka hukumnya haram. Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala
yang artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. (An Nisa:5)
Kedua, dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah secara
shahih bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta
adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana
dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk
pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada
hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan.
Dalil dari As-Sunnah yang lainnya,
sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berarti:
Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak oleh membahayakan (orang lain)”
[Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340] Jadi, menimbulkan bahaya
(dharar)dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta.
Sebagaimana dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan
dan harta.
Ketiga, dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman
merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan
dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan
keletihan jiwa.
Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap
dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila
dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan
ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan,
alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak
mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya,
anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka
dan berinteraksi dengan mereka.
Keempat, pendapat ulama yang mengharamkan rokok, seperti dalam Mazhab
Hanafi di antaranya Najmuddin az-Zahidi, Syekh Mahmud al-”Ini, Abu al-Hasan al-
Mishri al-Hanafi, dan Muhammad al-Mar’isyi yang dikenal dengan nama Sajaqli
Zadah. Dari Mazhab Maliki seperti Abd al-Malik al-Islami, Syekh Ibrahim
Allaqqani, dan Syekh Khalid bin Ahmad al-Maliki. Dari mazhab Syafi’i seperti
Syekh Najmuddin al-Ghazzi. Dari Mazhab Hanbali seperti Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan Syekh Muhammad bin Ibrahim Mufti Arab Saudi.
Kelima, nash umum merupakan dalil qath’i (dilalah qathi’ah).
Qaidah ini
untuk menjawab pendapat yang menyatakan bahwa tidak ditemukan nash, baik di
dalam Kitabullah ataupun Sunnah RasulNya perihal haramnya merokok.
Nash-nash Kitabullah dan As-Sunnah terdiri dari dua jenis. Pertama, Satu jenis yang dalildalilnya
bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuan-ketentuan) dan kaidahkaidah
di mana mencakup rincian-rincian yang banyak sekali hingga Hari Kiamat.
Kedua, satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu
sendiri secara langsung.
Dalil yang bersifat umum tersebut merupakan dalil qath’i.
Masing-masing peserta Ijtima’ Ulama tidak dapat menyatukan dua
argumentasi tersebut di atas. Masing-masing berpegang dengan keras terhadap
argumentasi tersebut.
Akhirnya peserta Ijtima’ Ulama sepakat memutuskan
beberapa hal. Pertama, hukum asal merokok adalah khilaf (terjadi perbedaan
pendapat) antara makruh dan haram. Kedua, merokok di muka umum (wilayah
publik) hukumnya haram, Ketiga, merokok bagi wanita hamil hukumnya haram. Ke
empat, merokok bagi anak-anak hukumnya haram. Kelima, merokok bagi pengurus
MUI hukumnya haram.
*Dr. H. Akbarizan MA., M.Pd.
Peserta Ijtima’ Ulama
dan Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Pekanbaru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum, wr wb. Kumaha respon ulama di Rancah kana fatwa tadi? Pami teu lepat mah asa seuer keneh nu ngaroko, terutama anu kalebet anggota MUI, pami urang terang argumen/istidlal aranjeuna tiasa janten bahan mudzakarah, syukran, wassalam.
BalasHapus